Kisah spesies dinosaurus yang coba dibangkitakan di era modern akhirnya resmi berakhir lewat film Jurassic World: Dominion. Film ini menjadi penutup untuk seri Jurassic Park yang rilis pertama kali di tahun 1993, sekaligus penutup trilogi Jurassic World. Bagi generasi 90an, kenangan Jurassic Park (1993) melekat manis hingga hari ini. Sehingga, setiap seri barunya keluar dari tahun ke tahun, selalu ada dorongan untuk pergi ke bioskop, bernostalgia, dan melihat adakah sesuatu yang baru, yang lebih advanced?
Apakah Jurassic World:Dominion, seri pamungkas, yang menggabungkan geng Jurassic Park dan Jurassic World sukses mengambil hati penonton?
Jurassic World: Dominion berlatar 4 tahun setelah kejadian film Fallen Kingdom (2018). Konsekuensi dari keputusan yang diambil Owen (Chris Pratt), Claire (Bryce Dallas Howard), dan Maisie (Isabella Sermon) untuk melepas dinosaurus ke dunia luar diperlihatkan di film ini.
Berkat mereka, manusia kini harus hidup berdampingan bersama dengan dinosaurus, dan memasuki era baru yang dinamai Ian Malcolm sebagai Neo-Jurassic Age.
Meski manusia sudah berusaha sekuatnya untuk hidup berdampingan dengan dinosaurus, segudang masalah keseimbangan alam pun masih terjadi di dunia berkat hal ini. Salah satunya adalah masalah krisis pangan yang berpotensi rusak dengan cepat dikarenakan hama belalang berukuran jumbo yang membawa DNA prasejarah.
Hal inilah yang menjadi alasan trio jagoan dari film Jurassic Park, yaitu Alan Grant (Sam Neill), Ellie Satler (Laura Dern), dan Ian Malcom (Jeff Goldblum) untuk berkumpul kembali untuk memecahkan masalah.
Usut punya usut, hama ini merupakan pekerjaan kotor BioSyn, sebuah perusahaan teknologi baru yang kini meneliti sekaligus memberikan lahan agar dinosaurus terus tumbuh.
Di sisi lain, Owen dan Claire kini tinggal bersama dan mengasuh Maisie, yang merupakan hasil kloning anak perempuan salah satu pembuatJurassic Park, Benjamin Lockwood. Masalah mulai datang ketika Maisie kini menjadi incaran BioSyn, sebab mereka percaya bahwa DNA yang ada di tubuhnya bisa menjadi penyeimbang krisis saat ini.
Terlalu banyak isu yang dikembangkan di sini, terutama dengan hadirnya belalang raksasa, menjadikan film jadi tidak fokus lagi. Masalah utama jadi kabur, atau absurd. Dinosaurus tak lagi menjadi pokok masalah utama, seperti di film-film sebelumnya. Mau menyelesaikan masalah hama atau mengkhawatirkan masalah dinosaurus?
Selain itu, ada banyak hal-hal klise yang membuat penonton kadang jadi bergumam, “Oh, ok kok bisa, ya?”. “Kok, gampang banget ya?” Seperti misalnya, tiba-tiba Owen, Claire, Maisie, Alan, Ellie, dan Ian bisa ketemu begitu saja? Terlalu kebetulan.
Cerita kali ini terasa kurang solid atau menyatu. Terlalu “memaksa”-kan keadaan. Untungnya, ragam jenis dinosaurus yang ditampilkan di film ini cukup fantastis, menjadi penghibur dan pemanis sendiri. Nggak hanya menghadirkan dinosaurus yang ikonis dari film Jurassic Park pertama, tapi juga banyak jenis-jenis baru yang dihadirkan.
Visual efek, dan aksi-aksi yang menegangkan menjadi bumbu sendiri. Di samping kehadiran trio Jurassic Park: dr Allan Grant, Ellie Statler, dan Ian Malcolm membuat kita bernostalgia. Ketiga bintang ini, meski tak muda lagi, justru menyedot perhatian dan mengambil spotlight Chris Pratt.
Di laman Rotten Tomatoes, Dominion menjadi nilai terburuk dari tiga saga Jurassic World, yang telah dibuka cemerlang dengan skor 71 pada 2015, lalu anjlok ke 47 persen pada 2018. Kini, kritikus Hollywood ramai-ramai mengeluhkan film ini hingga Jurassic World Dominion mendapatkan nilai 34 persen.
Jurassic World: Dominion mungkin advanced dari segi visual efek, tapi apakah Jurassic World: Dominion mampu memikat hati penonton? Untuk aksi, dan sensasi jejeritan, ya, Dominion mungkin sukses menghibur. Tapi di antara jeritan dan makhluk-makhluk fantastis itu, ada sesuatu yang ‘kurang’. Mungkin, memang ini sejatinya film ‘hiburan’. Cukup untuk menghibur saja.