Tak terasa, kita sudah memasuki tahun kedua hidup di tengah pandemi. Tak pasti kapan berakhir, malah kian mengganas. Tak ada jawaban mutlak, apa yang harus dilakukan menghadapi momok ini, kita hanya bisa bertahan—dengan segala upaya dan fasilitas yang ada—hari demi hari.
Kini pandemi gelombang kedua, mengharuskan kita mau tak mau mematuhi PPKM. Semua toko, kegiatan, yang tidak termasuk dalam bidang esensial dinon-aktifkan. Pun tempat makan, tidak boleh dine-in. Banyak usaha tersendat. Semua aktivitas tak seperti dulu lagi. Imbasnya, banyak karyawan dirumahkan, diberhentikan. Usaha-usaha gulung tikar.
Suatu sore, saya berjalan menuju sebuah tempat yang biasa saya kunjungi di masa normal. Sebuah tempat, yang selama ini berjasa membantu percetakan, desain, materi-materi yang saya butuhkan. Tak yakin sesungguhnya, apakah buka atau tidak. Sore itu saya hanya sekalian keluar, merilekskan diri, menepis penat, sekalian membuat sebuah kartu.
Sungguh berbeda suasanan jalanan. Kiri-kanan lengang. Seolah alam pun bersedih. Dan ketika sampai di tempat itu berada, kulihat, tampak remang-remang. Tak seperti di masa normal, terang benderang, energik, dipenuhi orang-orang yang membutuhkan jasanya. Ini sepi, dan hampir gelap.
Mesin antrean tak lagi menyala. Hanya ada dua orang yang bertugas di sana. Ah, biasanya ramai sekali yang bertugas. “Langsung saja, mba,” ujar salah satu petugas. Tiada lagi ambil nomor antrean, langsung ke meja pengerjaan.
Sepi sekali pikirku dan gelap. Yang menyapaku tadi, juga yang melayani kebutuhanku sore itu. Di pojokan, tempat ini ada kafe kecilnya. Semua gelap. Bangku-bangku semua terangkat, ada di atas meja. Berbeda sekali hawa yang kurasa. Begini pandemi telah merenggut aktivitas kita, suasana kerja kita.
Sambil menunggu keperluanku dikerjakan, ku memulai obrolan kecil dengan petugas tadi.
“Sekarang pegawainya yang masuk dua saja, mas?” tanyaku.
“Ya, mba, kami ganti-gantian. Karena di sini kan pekerja harian semua. Kalau enggak buka dan nggak dipaksakan seperti ini, kasihan teman-teman. Kalau ditutup total, bos juga nggak ada pemasukan. Kita sama sekali nggak ada pemasukan juga. Makanya ini digelapin. Kalau ketahuan Satpol PP pun, kita dimarahin, tapi gimana lagi, mba?” ungkap petugas tersebut.
Kata dia lagi, ini yang timmereka bisa lakukan untuk bertahan hidup. Membantu pemilik franchise juga. Saya pikir tempat dengan brand yang cukup besar itu, karyawannya sistem gajian. Ternyata harian. Dan sekarang, upah harian itupun mau tak mau berkurang, karena mereka harus bekerja ganti-gantian.
“Ya, sekarang kami bertahan saja dulu bergini. Yang penting tetap ada pemasukan, walaupun jauh sekali dari pemasukan normal. Habis bagaimana, dari pemerintah kan juga belum ada solusi. Kalau semua usaha tutup, ya mati kita. Yang punya juga mandek. Kita gerilya, sama-sama bertahan hidup,” katanya.
Gerilya. Tak sadar, saat ini kita mungkin memang sedang “bergerilya”. “Berperang”. Berperang melawan sesuatu yang tak terlihat tapi mematikan. Berperang melawan ketidakpastian. Kapan masa ini berakhir? Tak ada yang tahu. Satu orang pun tak ada yang dapat memprediksi. Jadi percuma juga, mau heboh memborbardir pemerintah. Pemerintah, sama seperti kita, manusia. Bukan Tuhan. Bedanya mereka punya tugas, tanggung jawab lebih berat. Bagaimana caranya meminimalisasi korban dan wabah ini.
Lalu, siapa yang dapat bertahan, hingga terbebas dari momok ini? Tak ada yang tahu juga. Tak ada yag pasti, dan memang tidak ada yang pasti dalam hidup ini. Kecuali tagihan! Tagihan pasti datang tiap bulan, kan?
Mereka yang bertahan, mungkin mereka yang memiliki daya juang tinggi, iman yang kuat—bahwa sumber kehidupan adalah Tuhan–dan hati yang mengasihi. Sejahat apapun hari-hari yang kita lalui sekarang, tetaplah memiliki hati yang baik. Karena di akhir hari, kebaikan kitalah yang kan menyelamatkan kita dari hal-hal buruk.