Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar kisah perselingkuhan. Nggak dari kalangan orang terdekat kita, nggak dari kisah selebriti di televisi atau pemberitaan, maupun di serial-serial. “Pelakor”, “Orang Ketiga”, atau “Selingkuhan”, tampaknya memang lagi jadi pembicaraan hangat dan selalu menarik perhatian. Pastinya, dalam kasus perselingkuhan, semua mata menyorot si orang ketiga, wanita yang telah membuat hubungan rusak. Kita melihat dari kacamata wanita yang terzolimi. Amit-amit, jangan sampai terjadi pada kita. Tetapi, jarang yang membahas dari kacamata orang ketiga.
Bukan untuk membenarkan apa yang telah dilakukan si orang ketiga, ya. Tapi hanya sekedar memahami, kenapa kok bisa jadi orang ketiga? Kok mau di posisi yang jelas-jelas salah, dan malah merugikan? Apakah mereka perlu bantuan profesioanl juga, perlu didengarkan juga? Umumnya, para married couple yang mengalami isu perselingkuhan, sih, mencari pertolongan konseling dengan psikolog, khususnya pasangan yang tersakiti. Gimana dengan orang ketiganya? Kami membaca kajian menarik dari psikolog khusus hubungan, seks, dan wanita, Inez Kristanti.
“Beberapa waktu terakhir ini memang sering bahas perselingkuhan, dan ada request masuk untuk bahas orang ketiga. Langsung cari-cari jurnal penelitiannya. Menemukan satu yang menarik, aku paparkan singkat. Mungkin nggak semua poin tepat dengan situasi semua orang, karena setiap orang bisa punya pengalaman yang berbeda-beda,” ungkap Inez, seperti dikutip dari Instagramnya @inezkristanti.
Inez memaparkannya secara kreatif melalui kemasan reels. Ada beberapa poin singkat. Pertama, bisa jadi awalnnya memang nggak ada niat “merebut” suami atau pasangan orang. Kedua, Nggak nyangka juga bakal jatuh cinta. Tetapi, dalam perjalanannya memang, merasa seperti bertemu dengan soulmate. Selanjutnya, si orang ketiga, pada fase awal bisa merasa bingung juga melihat kondisinya dan pria yang sudah menikah ini. “Katanya, their marriage is over, tapi kok masih bareng?” gumamnya dalam hati.
Kelima, terkadang rasa bersalah itu ada. Tetapi, mungkin, terkadang kita manusia tak kuasa menahan gejolak hati dan godaan. Lalu, keenam, mulai teryakinkan dengan janji-janji si dia. Orang ketiga, juga merasakan yang namanya cemas. “Aku akan tinggalin dia demu kamu,” begitu biasanya bunyi ucapan pria yang menjadikanmu orang ketiga. Tapi janji-janji tampaknya tak pernah menjadi kenyataan. Lama-lama makin terseret, dan berlarut, karena ketergangungan makin kuat. Saat keberadaan orang ketiga mulai terendus, maka masalah baru datang. Orang ketiga akan dihujat, dan ini bisa membuatnya mengisolasi diri, karena penghakiman-penghakiman orang dan keluarga. Fase terakhir ini, yang paling mengguncang.
Tapi kemudian orang akan bertanya, memangnya nggak punya hati nurani? Kenapa nggak mundur selagi bisa? Kan sudah tahu pria itu sudah berkeluarga? Ya, ini tadi, kembali kepada orangnya masing-masing lagi, dan setiap pasangan menikah pastinya juga punya problem dan tantangan berbeda-beda.