Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi dalam berbagai bentuk dan penyebabnya dalam konteks ruang publik ternyata dapat terjadi secara berulang. Hal ini disampaikan oleh Rendra Yoanda, M.Psi., Psikolog yang merupakan Psikolog Klinis Anak dan juga Konselor di Sekolah Cikal.
Sebagai praktisi, Rendra menyebutkan jika merujuk pada sebuah teori psikologis dari Lenore E. Walker pada 1979, KDRT cenderung berulang karena ada siklus kekerasan di dalamnya, dan hal ini tentu tidak sama dengan istilah kecanduan dari sisi pelaku dalam aksinya melakukan kekerasan. Sayangnya, banyak perempuan masih terlena dengan kata sayang, takut sendiri, atau yang sudah punya anak bersama pasangannya, takut kalau menyudahi hubungan, anaknya tidak punya sosok ayah. Padahal, KDRT tidak akan berhenti. Berikut Rendra menyebutkan bahwa terdapat 4 siklus dari KDRT itu sendiri.
- Siklus Pertama, Ketegangan Situasi (Tension Building)
Di siklus pertama ini, Rendra menyebutkan bahwa KDRT dapat bermula dari ketegangan yang terbangun dalam hubungan suami-istri, lalu dari komunikasi yang terputus hingga timbul rasa ketakutan yang berlebihan dari korban.
“Tension building itu berarti kondisi atau situasi di mana ketegangan yang mulai terjadi, komunikasi terputus antara pelaku dan korban, disertai dengan adanya rasa ketakutan berlebihan dari korban yang membuatnya berusaha untuk menenangkan pelaku.” ucapnya.
- Siklus Kedua, Kekerasan Terjadi (Incident)
Di siklus kedua, kejadian tindak kekerasan pun terjadi sebagaimana bentuk-bentuk dari kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, baik itu kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran.
“Siklus kedua yakni Incident di mana kekerasan pun terjadi (baik itu fisik, verbal, atau psikis), pelaku akan dipenuhi kemarahan, muncul perdebatan, ancaman, dan intimidasi kepada korban.” ucapnya.
- Siklus Ketiga, Rekonsiliasi (Reconciliation)
Di siklus ketiga ini, Rendra menjelaskan bahwa pelaku KDRT akan melakukan aksi meminta maaf, memberikan alasan dan bahkan menyalahkan korban atas aksi tindak KDRT yang terjadi, atau bahkan menyatakan bahwa kejadian KDRT hanya perbuatan khilaf semata dan tidak menyebabkan dampak yang berlebihan.
“Siklus ketiga adalah Reconciliation dimana pelaku meminta maaf, memberikan alasan dan seringkali menyalahkan korban atas perilaku yang terjadi, mencoba menyangkal kekerasan yang terjadi dengan alasan khilaf, atau pun menjelaskan bahwa dampak yang terjadi tidak sebesar yang disebutkan oleh korban.” ucap Rendra.
- Siklus keempat, Kekerasan Dilupakan (Calm)
Di siklus keempat ini, tindak kekerasan yang terjadi akan dilupakan oleh pelaku, meskipun pada korban akan menimbulkan dampak yang besar bagi fisik dan psikisnya. Rendra menyebutkan bahwa di siklus ini kekerasan akan dilupakan dan disebut juga dengan fase bulan madu (honeymoon).
“Di siklus terakhir, terdapat fase Calm di mana Kekerasan “dilupakan”, disebut juga sebagai fase “bulan madu” (honeymoon).” tambahnya.
Siklus tersebut akan berulang terjadi tanpa disadari. Apabila korban tidak memiliki kepercayaan diri untuk bergerak, berbicara dan bertindak mengingat pelaku akan membatasi pergerakan, korban akan merasakan kesendirian karena tidak ada pihak yang dapat memberikan bantuan. Selain itu juga apabila lingkungan terdekat, baik itu keluarga, atau pun teman terdekat menganggap bahwa tindakan kekerasan ini merupakan hal yang wajar dan membuat korban merasa tidak “didengarkan atau diakomodasi” ia akan semakin menghadapi situasi dilematis dan menarik diri bahkan terisolasi.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membangun kepekaan dan kepedulian terhadap sekitar dengan membaca tanda-tanda apabila orang terdekat kita menghadapi KDRT.