Nikah LDR? Kebayang nggak, sih. Menikah, sah suami-istri, tapi tinggalnya terpisah jarak dan waktu. Pacaran LDR saja sudah bikin resah, gundah gulana, gimana kalau menikah tapi LDR ya? Ini mungkin tengah ladies alami, atau bisa saja suatu hari akan kamu alami hingga kamu butuh pertimbangan. Kali ini, KabarBintang berbincang dengan salah seorang narasumber, sebut saja Melati, yang akan berbagi pengalaman dan tips menjalani pernikahan LDR.
Melati dijodohkan dengan Arman, yang kebetulan bekerja di Timur Tengah, di bidang kelautan. Dari masa perkenalan, pendekate, semua sudah dilakukan dari jarak jauh (Long Distance Relationship). Pendekate-nya cukup singkat. Hanya sebulan! Lalu Melati dan Arman melangsungkan pernikahan di Jakarta.
Menikah pada 2 Februari 2020, Melati sudah harus menerima kenyataan ditinggal Arman kembali ke Timur Tengah, pada 18 Februari 2020. Ditambah pandemi pula, Melati dan Arman semakin sulit bertemu. Mereka menjalani pernikahan terpisah jarak dan waktu, hingga hari ini, tak terasa sudah 1,5 tahun dijalani.
Tantangannya rupanya banyak. Selain perbedaaan waktu, sulitnya komunikasi, dan imej sang suami yang kerja di laut bikin seorang perempuan deg-degan juga. Tau kan ya kalau pelaut itu punya imej “nakal”.
“Jadi, saya ini kan pertama kali cari jodoh, kemudian mendapatkan koneksi dari ibu saya sendiri. Ini ada yang mau dikenalin tapi jauh, di Timur Tengah. Dari situlah kita mulai kenalan secara long distance. Pedekate-nya juga long distance. Cuma lewat whatsapp dan video call,” ungkap Melati. Proses dari pendekate hingga pernikahan pun lumayan cepat. Kalau memang sudah jalan Tuhan, memang akan dimudahkan. “Jadi dari awal, memang tahu bahwa kita akan terpisah jarak dan waktu. Waktu memutuskan menikah pun, sudah tahu ini memang akan menjadi tantangannya,” imbuh Melati.
Baru menikah, kurang lebih dua minggu kemudian sudah harus ditinggal suami pula untuk kembali ke lautan. Tak dimungkiri, ah, ini bikin kaget juga. “Ya, pasti ada kaget-kagetnya juga. Mau nggak mau harus cepat menyesuaikan. Namanya juga baru nikah. Terus, pendekatan juga nggak lama kan. Jadi, penyesuaian kami sebagai suami-istri juga dilakukan jarak jauh,” terang Melati.
Didera rasa rindu sudah pasti. Tak bisa berkomunikasi leluasa, tidak bisa bertemu, tak bisa bersentuhan. Ini hal-hal yang cukup menyiksa. Tak hanya didera rindu, kadang tak dapat dihindari, rasa cemburu juga mengganggu di sela jarak dan waktu yang memisahkan dua insan ini.
“Pasti, (cemburu) itu ada. Dia kan bekerja di bidang kelautan. Jadi, katanya, kalau kerja di laut ada imej tertentu yang melekat. Imej-nya itu terkenal, suka main cewek. Sebenarnya sih, dia kerjanya benar-benar di site yang jauh dari kota, nggak ketemu yang lain. Cuma, karena ada “imej” itu aja, jadi memicu, ya, curiga kan, ya,” kata Melati. Jadi, lebih cemburu karena “imej”. Ada rasa insecure karena eksistensi “imej” yang terlanjur melekat.
Awal-awal juga diakui suka bertengkar. Karena tadi, pendekatannya singkat. Banyak hal yang masih belum diketahui antara suami-istri ini. Dari visi, misi, cara bagaimana mengatasi permasalahan, pasti kan berbeda. Kendala ini, ditambah lagi dengan komunikasi yang banyak gangguannya. Pertama, komunikasi terbatas pada waktu. Adanya perbedaan waktu 4 jam, antara Jakarta dan peraian tersebut, membuat pasangan ini nggak bisa berkomunikasi kapan saja mereka mau. Harus mengatur waktu, dan janjian untuk bicara. “waktu ngobrol sedikit. Waktu kerjanya nggak bisa dipakai ngobrol panjang-panjang. Kami sepakat menyempatkan waktu sebelum dia tidur dan saya tidur. Ini tau nggak sih, mencari waktu saja bisa berantem dulu. Karena persepsi jam dia dan saya berbeda kan, hahaha,” ungkapnya.
Tapi pasti ketemu kok caranya dan waktunya. Ini dia harus ada kesepakatan dan keselarasan soal waktu. Setelahnya, adalah bagaimana membuat komunikasi itu menjadi intens, meski akan ada gangguan sinyal. So, harap bersabar karena obrolan akan terputus-putus, tersendat-sendat. “Saya akan selalu mengobrol apapun obrolannya. Ini karena saya nggak ada bisa di sisinya, maka saya harus memastikan saya bicara padanya,” ucap Melati.
Lalu, bagaimana menggantikan “skinship”?—dimana sentuhan fisik dalam sebuah hubungan suatu hal yang penting juga. Tidak bisa diabaikan. “Mungkin kalau perempuan bisa mengalihkan. Kalau cowok, ya, mungkin tahu sendirilah bagaimana. Kalau saya mengalihkannya dengan menulis, kerja. Meluk guling kalau tidur. Ha ha ha,” Melati berseloroh.
Tapi yang perlu digaris bawahi, yang paling penting dari pernikahan LDR atau pernikahan jarak jauh, adalah memberikan kepercayaan dan memaksimalkan komunikasi. “Ya, mungkin saya baru sih (pernikahannya), baru mau 2 tahun. Supaya langgeng, pertama sih kepercayaan. Selalu ada untuk dia, meski terbatas. Sama, saya harus menahan ego. Kadang ingin marah sama dia, tapi ya sudah, di sana kan kerjanya capek, berat, itu sudah cukup mengganggu. Jadi berusaha ada saja untuk dia, komunikasi tetap jalan, apapun diobrolkan,” ungkapnya.
Begitu ya, ladies. Kalau kamu sedang menimbang-nimbang pernikahan LDR. Maka pertama yang harus dilakukan, mulailah membuat kesepakatan akan bagaimana kamu akan berkomunikasi dengan jarak dan perbedaan waktu yang ada di antara kalian. Lalu, mulailah menyelaraskan persepsi dan gaya komunikasi kalian, sehingga bisa membangun kepercayaan di antara kalian. Percaya, sungguh penting dalam hubungan jarak jauh. Apalagi kalau sudah menikah.
Good sharing?