24 September 2021, adalah hari kedua Sundance Film Festival: Asia 2021. Disiarkan langsung di TikTok (@SundanceFFAsia), Panel Discussion mengundang beberapa sutradara terkemuka, seperti Joko Anwar (Perempuan Tanah Jahanam), Edwin (Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas) dan Yosep Anggi Noen (The Science of Fictions). Dimoderatori oleh Fajar Nugros (Sutradara dan Head of IDN Pictures), acara ini mengangkat topik “The Directors – Festivals and the Pathway to Success”.
Sundance Film Festival: Asia 2021 juga mengadakan Virtual Screening film The Dog Who Wouldn’t be Quiet dan Amy Tan: Unintended Memoir. The Dog Who Wouldn’t Be Quiet menceritakan kisah Sebastian yang selalu menemukan cinta di tiap kesempatan. Setelah melewati serangkaian pertemuan dan perkenalan singkat, serta berbagai gejolak kehidupan, Sebastian terlahir menjadi pribadi baru. Film kedua yang ditayangkan adalah Amy Tan: Unintended Memoir, yang bercerita tentang Amy Tan, salah satu sosok di bidang sastra paling berpengaruh di Amerika. Lahir dari sepasang suami-istri imigran Tiongkok, memerlukan beberapa dekade bagi penulis The Joy Luck Club ini untuk memahami betul trauma yang diwariskan oleh para perempuan yang berhasil menyelamatkan diri dari tradisi pergundikan di Tiongkok.
1. Semangat untuk menyampaikan apa yang ingin kita sampaikan melalui film
Festival film bukan sekadar festival di mana semua orang dapat berkumpul, menonton film-film menarik bersama, sambil berbincang ringan. Festival film adalah mata rantai yang penting, terutama dalam pertukaran budaya film global. “Berbagai bahasa yang kita dengarkan di film-film yang disajikan di festival film memungkinkan kita untuk mengenal kekayaan budaya dari berbagai belahan dunia. Selain itu, festival film juga berperan sebagai wadah bagi para sineas untuk mempresentasikan ide-ide kreatif, kepiawaian dalam memproduksi film, dan semangat untuk menyampaikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan melalui film tersebut,” ujar Joko.
Setuju dengan pernyataan Joko, Edwin mengatakan, “Kalau dibicarakan lebih jauh, pendanaan juga dapat didapatkan melalui festival film. Jujur saja, pendanaan yang didapatkan dari festival film adalah salah satu sumber yang paling masif. Syukurnya, digitalisasi sudah hadir, sehingga festival film pun dapat menjadi alat yang menghubungkan kita, di mana pun kita berada. Dengan kata lain, akses menuju festival film, idealnya, sudah jauh lebih mudah apabila dibandingkan dengan tahun-tahun yang lalu. Jangan lupa juga untuk menemukan festival film yang juga memiliki visi yang sama dengan diri dan film kita.”
2. Agar karya kita dicintai
Biasanya, film festival juga akan memberikan penghargaan untuk karya-karya terpilih. Penghargaan itu adalah bentuk apresiasi yang menunjukkan bahwa karya kita legit dan layak untuk ditonton. Itu membantu kita mendapatkan spotlight terbaik, tapi memerlukan perjalanan panjang untuk sampai ke sana. “Pertama-tama, kita harus bisa mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikan melalui film-film kita, seperti yang disampaikan oleh Joko. Namun, ada yang lebih penting: bagaimana pembuat film dan festival film dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui perilisan sebuah karya. Hal ini menjadi penting daripada sekadar sibuk menetapkan target. Di lain sisi, kita seringkali menemukan pembuat film yang ingin agar filmnya ‘stay national’ saja dan ini pun tak apa-apa. Poin pentingnya adalah kita memiliki sesuatu yang bermakna untuk disampaikan dan ada orang yang mau memahami serta menontonnya, terlepas apapun skalanya: global atau nasional. Pada akhirnya, ini semua tentang cara agar karya kita dicintai,” ujar Yosep.
Melanjutkan Yosep, Joko menekankan bahwa membuat film harus lebih dari sekadar menetapkan target: berapa banyak penonton yang menonton, apakah film ini disukai, atau apakah ada festival film yang mau mengakomodasi film ini nantinya. “Setelah bertahun-tahun membuat cerita, saya tidak pernah fokus pada kekuatan eksternal yang justru malah dapat mengalihkan perhatian saya. Sebaliknya, saya fokus pada nilai-nilai dan bagaimana alur cerita saya akan berjalan, membentuk sebuah plot yang menyeluruh. Tidak apa-apa bila memang memiliki ambisi untuk berprestasi, tetapi selama proses produksi, be there, be present. Pastikan materi yang kita olah tidak klise, mature, dan ada sentuhan yang mind-blowing,” tambah Joko.
3. The Dog Who Wouldn’t Be Quiet dan Amy Tan: Unintended Memoir ditayangkan!
Film pertama yang diputar pada virtual screening adalah The Dog Who Wouldn’t Be Quiet. Film ini bercerita Sebastián, atau Sebas, seorang pria berumur 30-an yang lembut dan santai. Sebas adalah seorang pria cerdas, seorang desainer grafis, terlatih dalam penggunaan Adobe Illustrator, yang kini sedang mencoba mencari pekerjaan part-time. Waktu terus berjalan hingga akhirnya, entah bagaimana, sebuah meteor menghantam bumi, membawa gas beracun di udara. Semua orang, termasuk Sebas, harus memakai helm kaca untuk melindungi diri. Eits, jangan salah mengartikannya, ya. Film naratif ini banyak mengandung simbol yang sebetulnya merupakan representasi dari nilai-nilai kehidupan.
Film kedua, Amy Tan: Unintended Memoir, berkisah tentang Amy Tan, penulis “The Joy Luck Club” (1989), yang berhasil mengantarkannya kepada sebuah kesuksesan besar. Amy Tan pun menjadi salah satu sosok paling berpengaruh di bidang sastra di Amerika. Film ini merupakan potret intim dari seorang penulis inovatif, dengan gambar dan wawancara eksklusif, yang menceritakan tentang kehidupan dan perjalanan karier Amy Tan yang begitu inspiratif. Lahir dari orang tua imigran Cina di Oakland, California pada tahun 1952, Tan memerlukan waktu untuk dapat memahami alasan mengapa ibunya memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Rupanya, hal ini berakar dari “legasi” yang umum dialami oleh perempuan-perempuan yang selamat dari tradisi pergundikan di Tiongkok kuno.