Panik, usia terus bertambah, tapi jodoh belum datang. Membuat orang berpikir singkat. Cari jalan mudah. Dijodohin sama siapa saja, mau. Tanpa cek and ricek. Tanpa memikirkan masa depan yang lebih jauh lagi. Tanpa memikirkan kenyamanan hati dan kebahagiaanmu sendiri. Yang penting, statusnya “gue menikah”. Jadi nggak aneh lagi di mata orang-orang sekitarmu. Memangnya tujuan kita menikah apa, sih ladies?
Seorang teman perempuan kita, sebut saja namanya Mawar. Berusia di akhir 30-an. Mengalami kegagalan cinta beberapa kali. Bahkan pernah batal menikah. Lalu, suatu hari, ada seorang teman lama yang datang di kehidupannya lalu tiba-tiba langsung melamar! Dapat dimengerti sih, rasanya pasti kayak ada angin segar di tengah cuaca yang panas dan kering. Wah, apakah ini jodohku yang dikirim Tuhan? Tanpa pikir panjang, Mawar mau diajak nikah pria ini. Padahal belum ada pendekatan yang panjang. Mungkin dulu dia teman. Tapi kemudian terpisah bertahun-tahun. Nggak tahu, setelah sekolah, dia jadi sosok yang seperti apa, bagaimana proses kehidupannya. Dalam waktu sebulan kenal lagi, ngobrol lagi, langsung merasa, yes! ini jodohku.
Mendekati hari pernikahan, komunikasi antara Mawar dan si Dia—sebut saja Mas Rambo– terasa mulai sepihak. Apalagi soal pernikahan itu sendiri. Lebih banyak Mas Rambo mendiskusikan pernikahan dengan keluarganya saja. Mawar tak dilibatkan. Ya, kalau mas Rambo yang membayar semua biaya pernikahan nggak apa-apa tinggal ikut mas Rambo aja. Tapi ini biaya pernikahan tetap dibagi dua. Menjelang H-3 minggu, yang namanya susunan acara saja nggak ada. Panitia nggak ada. Ditanya acara nya gimana, mas Rambo bilang, “belum tahu.”
Mawar mulai kelelahan. Ditemui saja Mas Rambo susah. Membalas pesan WhatsApp sepotong-sepotong. “Ok”. “Iya”. Sementara Mawar kalau menulis pesan panjang lebar kayak menulis cerpen. Diajak ngobrol nggak nyambung terus. Sampai Mawar sakit, nggak ditengok, alasannya kerja. Sabtu dan Minggu masih kerja, pulangnya bisa dini hari. Dalam persiapan ini Mawar merasa timpang, benar-benar sendiri.
“Gue batal aja,” tercetus ini dari mulut Mawar. Mawar galau. Maju terus atau nggak. Melihat Mas Rambo hanya mendengar keluarganya saja, tidak mendengarnya, dan susah berkomunikasi dengannya membuat Mawar capek hati. Lalu, saya bertanya, “Kamu beneran sayang sama dia nggak? Hingga dia patut diperjuangkan?”
Mawar menjawab, “Gue nggak pakai perasaan.” Sebuah jawaban yang bikin bingung pendengar, nih. Menjalani hubungan nggak pakai perasaan, tapi mau menikah? Apakah ini zaman siti nurbaya, ya? Menikah hanya untuk status atau kepentingan?
Ibu dari Mawar, pernah berkata pada Mawar, agar mengecek latar belakang Mas Rambo. Tapi Mawar malah marah. “Mama mau yang gimana, sih? Emang Mama Mau nyariin pasangan buat gue? Mau kapan lagi gue nikah?” Sang ibu yang maksudnya baik, jadi sedih dihardik Mawar. Hingga diam-diam masuk kamar dan menangis. “Perasaan ini datang begitu saja, namanyna ibu. Coba dicek dulu latar belakangnya, itu saja yang saya mau,” kata sang ibu. Ya, pada akhirnya Mawar memang mengecek, tapi hanya permukaan saja. Tak mengecek lebih jauh, tentang sebuah fakta, bahwa Mas Rambo pernah dibatalkan pernikahannya lho, oleh seorang perempuan.
Baik, maka persiapan pernikahan pun tetap berjalan dengan buru-buru. Langit bergemuruh. Hari ini mbak Mawar bisa bilang cancel. Beberapa jam kemudian bilang delay. “Gue nggak takut kok, (nggak nikah),” kata Mawar. Tapi keesokan harinya, tiba-tiba bilang, jadi melanjutkan persiapan pernikahan. Ini karena Mas Rambo, ternyata sudah jauh-jauh naik taksi ke rumah Mawar untuk bernegosiasi, soal apa yang Mawar mau, dan berusaha mengalah tentang apa yang mas Rambo inginkan.
Pendengar dan pembaca yang jeli dan mengikuti kisah ini dengan hati, pasti juga jadi ikut bingung. Hubungan ini, pernikahan ini, sebenarnya terlalu banyak red flags. Katanya tadi sama Mas Rambo nggak pakai perasaan. Tapi selama chat-chat tak berbalas, Mawar pusing, kayak ikan kekurangan air, menulis pesan buat mas Rambo, yang jelas-jelas tak berbalas. Kalaupun dibalas nggak nyambung. Lalu pakai negosiasi. Ladies, ini mau nikah atau mau bisnis? Pakai negosiasi.
Ada kepanikan. Ketika Mawar marah pada ibunya, “Mama mau yang gimana, sih? Emang Mama Mau nyariin pasangan buat gue? Mau kapan lagi gue nikah?” Ya, ini ketakutan, kekhawatiran, kepanikan. Dari pada nggak nikah. Lalu, ketika Mas Rambo ditanya, apakah dia menikahi Mawar karena cinta atau karena tuntutan keluarga? Pun Mas Rambo tak bisa menjawab secara gamblang. “Kalau sudah sama-sama siap kenapa nggak (menikah)?”.
Kenapa Mas Rambo nggak menjawab, “Karena saya ingin menghabiskan hidup bersamamu?” Atau “Karena saya ingin membangun keluarga bersamamu.” Apa kalimat-kalimat ini hanya ada di film-film saja? Lalu, tentang jawaban pesan yang singkat-singkat, sementara Mawar panjang lebar kayak essay. Seorang pria yang “In to You”, sesibuk apapun dia, akan menjawab pesanmu dengan selayaknya. Dia akan menelpon, dia akan menyediakan waktu untukmu. Dia akan mendengarkanmu. Karena kamu adalah prioritasnya. Apalagi sudah mau menikah sebentar lagi.
“Iya”, “Oke”, “begitu ya”, “Ha ha ha”, bukanlah jawaban seorang pria yang “In To You”. Sayangnya, Tak banyak wanita yang berani jujur pada dirinya sendiri, dan berani memenangkan logika atas perasaan-perasaan lainnya, termasuk kekhawatiran dan ketakutan.
Henny Kristianus, seorang penginjil juga motivator yang banyak membawakan isu-isu percintaan di kalangan anak muda, juga pendiri yayasan Tangan Pengharapan berkata, “Panik, karena kepepet usia, membuat orang berpikir singkat. Cari jalan mudah. Dijodohin sama siapa saja bolehlah. Hati-hati. Pernikahan itu one way ticket. No re-fund. Kalau dapat yang bagus, Puji Tuhan. Kalau dapat yang nggak bagus, nggak bisa dikembalikan.”
Yang terpenting adalah serahkan pada Tuhan. Kalau Tuhan pertemukan, ya baik Puji Tuhan. Tapi kalau tidak pertemukan, ya sudah. Jangan maksa. “Tetapi kita manusia suka maksa. Jangan panik, jangan tergesa-gesa. Amsal 19:2 bilang, kita akan salah langkah,” ungkapnya. Jujur pada diri sendiri, penting. Karena menikah bukan untuk menyenangkan orang lain. Bukan untuk dapat status di tengah masyarakat. Menikah adalah komitmen seumur hidup. Menikah berarati mempercayakan hidup kita sepenuhnya kepada orang lain, yang menjadi pasanganmu. Pikirkan masa depanmu, pikirkan hatimu, dan kebahagianmu. Jangan menikah, karena kepepet usia, apalagi karena takut dibilang, “ih, nggak nikah. Nggak lagku. Aneh.” Dan sebagainya.